PROFESIONALISME NAZHIR (Kompetensi Nazhir dalam pengelolaan aset wakaf)

By Arif Ahmad Fauzi - Oktober 18, 2019



PENGELOLAAN WAKAF OLEH NADZHIR

Sejak masa awal penyebaran agama Islam hingga sekarang, umat Islam Indonesia telah mempraktikkan ajaran wakaf. Fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan umat seperti mushalla, masjid, panti asuhan, sekolah, kuburan, pondok pesantren, majelis taklim, pembangunannya banyak dilakukan di atas tanah wakaf dan menggunakan dana wakaf.
Bahkan, lahan-lahan yang produktif seperti tanah ladang, sawah, kolam ikan, banyak yang diwakafkan untuk dikelola dan hasilnya digunakan bagi pembiayaan pemeliharaan fasilitas-fasilitas wakaf dan untuk membiayai kegiatan operasionalnya. Pada tahap ini, pengelolaan wakaf telah dilakukan oleh nazhir secara tradisional sesuai dengan tuntunan zaman saat itu.

Pada masa tradisional ini, tidak ada inovasi dalam pengelolaan dan pengembangan tanah wakaf sebab tanah wakaf hanya dikelola untuk pembangunan fasilitas ibadah dan sosial. Model pengelolaan wakaf seperti ini memang sah-sah saja karena wakaf telah bermanfaat untuk umat, hanya saja jika terbatas pada model ini maka wakaf baru sebatas menjalankan fungsi ibadah dan sosial, sedangkan fungsi ekonominya terabaikan atau belum tergarap secara maksimal. Nazhir yang menerima lahan-lahan produktif seperti tanah ladang, sawah,kolam ikan tidak bisa memaksimalkan pengelolaannya, akibatnya hasil yang diperoleh tidaklah banyak, bahkan tidak sedikit dari lahan-lahan ini yang kemudian terlantar atau tidak menghasilkan. Keberadaan wakaf produktif saat itu karena memang terbentuk secara alami sesuai dengan jenis lahan yang diwakfkan, bukan karena inovasi nazhir dalam pengelolaan dan pengembangan tanah wakaf.

Seiring berkembangnya pembangunan dan bertambahnya kebutuhan dan untuk keperluan umat, serta meningkatnya pemahaman nazhir bahwa tanah wakaf perlu dikelola dan dikembangkan secara produktif sehingga menghasilkan keuntungan yang dapat digunakan untuk pembangunan fasilitas-fasilitas umat dan operasionalnya, serta sebagai dan kesejahteraan ekonomi bagi para nazhir. Pada tahap ini, nazhir telah mengelola dan mengembangkan tanah wakaf secara semi modern. Nazhir telah mengelola dan mengembangkan wakaf produktif, misalnya dengan mendirikan usaha-usaha wakaf produktif seperti toko kelontong, took bangunan, took buku, warung jajanan, penggilingan padi, dan sebagainya. Wakaf produktif yang didirikan oleh nazhir ini bukan tanpa hambatan dan penolakan.

Sebagai bentuk baru pengelolaan dan pengembangan tanah wakaf, wakaf produktif dianggap sebagai sebuah urusan bisnis yang tidak sesuai dengan fungsi wakaf sehingga harus ditolak. Namun, dengan kegigihan dan keuletan serta keberhasilan nazhir dalam mengelola wakaf produktif ini maka sebagian masyarakat menerima model pengelolaan wakaf produktif. Mereka sadar bahwa wakaf memiliki manfaat ekonomi yang besar yang apabila dikelola dengan pendekatan bisnis akan menambha pendapatan ekonomi umat dan kegiatan – kegiatan umat dapat dibiayai dari keuntungannya. Namun , sebagian masyarakat tetap berpegangan pada pemahaman lama bahwa wakaf hanya untuk kepentingan ibadah dan sosial.

Paham lama tersebut menyatakan bahwa jika tanah wakaf telah disebutkan oleh wakif peruntukannya untuk masjid maka hanya bangunan masjid yang boleh didirikan, bangunan untuk usaha produktif misalnya pertokoan tidak diperkenankan untuk dibangun di atas tanah wakaf itu. Demikian juga jika wakif telah menyebutkan bahwa tanah yang diwakafkannya hanya untuk sekolah maka gedung bisnis tidak boleh dibangun di atas tanah wakaf itu. Padahal, apabila keinginan wakif untuk dibangun masjid atau sekolah di atas tanah yang diwakafkannya telah terpenuhi sedangkan masih ada tanah wakaf yang tersisa yang letaknya strategis, maka dapat didirikan bangunan komersial untuk usaha-usaha produktif sebagai penghasilan yang dapat digunakan untuk membiayai kegiatan masjid atau sekolah dan meningkatkan kesejahteraan para pengurusnya.

Pengelolaan wakaf semi modern yang dilakukan oleh sebagian nazhir serta masih adanya sebagain masyarakat yang menolaknya, perlu rekayasa hokum dan perhatian serius dari pemerintah agar nazhir mengelola wakaf semakin modern dan masyarakat terbuka menerima model pengelolaan wakaf secara produktif. Dari sisnilah muncul pemikiran pemikiran perlunya wakaf diatur dengan undang-undang agar terjadi perubahan pemahaman yang sistematis dan terbentuk nazhir yang yang professional. Akhirnya, pada tahun 2004 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf diterbitkan, bahkan tahun 2006 sudah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang Wakaf.

Undang-undang tentang wakaf menekankan pengelolaan wakaf secara produktif oleh nazhir, dengan manajemen yang modern. Untuk itu, nazhir diarahkan sebagai sebuah lembaga yang kuat, dengan sumber daya manusia yang professional yang mampu mengelola dan mengembangkan wakaf secara produktif. Ketentuan-ketentuan yang mendukung terwujudnya wakaf produktif diatur, seperti kerja sama nazhir dengan pihak lain dalam mengelola dan mengembangkan wakaf produktif, dan dukungan daei pemerintah berupa bantuan uang bagi pendirian wakaf produktif seperti rumah sakit, kos-kosan dan pom bensin. Nazhir juga dapat mengoptimalkan pengimpunan wakaf uang yang telah dilegalkan sebagai salah satu jenis harta benda wakaf.

Nazhir yang professional akan mampu memanfaatkan peluang wakaf uang ini dengan membuat program-program wakaf produktif atau proyek-proyek investasi yang menguntungkan, dan menawarkannya kepada masyarakat untuk membiayainya dengan skema wakaf uang atau wakaf melalui uang. Hasil dari pengelolaan wakaf uang ini disalurkan dalam bentuk pemberdayaan masyarakat atau peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Penekanan wakaf produktif dalam peraturan perundang-undangan tentang wakaf dan dukungan pemerintah bagi terwujudnya wakaf produktif mampu menjadi katalisator pengelolaan dan pengembangan wakaf yang modern di Indonesia. Berbagai inovasi wakaf produktif yang mencerminkan aspek bisnis di dunia modern, seperti Gedung perkantoran, pusat olahraga, dan pusat bisnis, telah diperkenalkan oleh nazhir. Meskipun demikian, harus diakui bahwa wakaf produktif ini belum menjadi trend di kalangan semua nazhir. Sebagian nazhir masih belum tersentuh dengan gagasan wakaf produktif, dan sebagainnya lagi merasa kesulitan dalam mewujudkan wakaf produktif. Nazhir-nazhir seperti ini harus diberikan pembinaan oleh pemerintah melalui Kementrian Agama atau Badan Wakaf Indonesia dengan tujuan agar mereka mengerti dan mampu melaksanakan tugas-tugasnya.

Di sinilah peran penting keberadaan sebuah lembaga utuk menjalankan fungsi pembinaan nazhir. Undang-undang tentang wakaf mengamanatkan tugas pembinaan nazhir ini dilkaukan oleh Badan Wkaf Indonesia. Jadi, Badan Wakaf Indonesia memiliki tugas yang berat yaitu menciptakan profesionalitas nazhir dalam melaksanakan tugasnya untuk menjadikan harta benda wakaf terpelihara, dikelola dan dikembangkan sehingga umat memperoleh manfaat dan hasilnya.

Untuk menciptakan nazhir yang profesional, rumusan tentang nazhir profesional disusun oleh Badan Wakaf Indonesia. Nazhir selain memenuhi persyaratan umum sebagaimana diatur dalam perundnag-undangan tentang wakaf, juga harus memenuhi persyaratan khusus yaitu syarata kemampuan diri dan syarat manajerial. Pertama, syarat kemampuan diri, yaitu : berpendidikan, paham hukum tentang wakaf baik hukum fikih maupun hukum positif, bermoral baik, mempunyai kecerdasan, baik spiritual maupun emosional, memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam bidang pemberdayaan harta wakaf, mempunyai skill atau kemampuan sesuai dengan harta wakaf yang dikembangkan, dan tersertifikasi. Kedua, syarat manajerial, meliputi : mempunyai kapasitas dan kapabilitas yang baik dalam leadership, mempunyai visi, misi dan tujuan yang berorientasi ke masa depan serta konsisten dalam pengelolaan dan tujuan pemberdayaan harta wakaf, mempunyai standar struktur organisasi, koordinasi, dan tata kerja yang jelas.

Nazhir yang profesional selain memenuhi persyaratan tersebut, juga harus memenuhi kualifikasi profesionalitas yaitu terpenuhinya asas profesionalitas moral yang meliputi Fathanah, amanah, shiddiq dan tabligh (FAST). Nazhir yang fathanah (cerdas) adalah nazhir yang mempunyai kepandaian dan kecerdasan dalam embuat program sehingga dalam mengelola harta benda wakaf ia dapat menciptkan lapangan kerja baru dan dapat membantu masyarakat, serta manfaat dan hasilnya dapat dinikmati dan dirasakan oleh umat. Nazhir yang bersifat amanah adalah nadzhir yang melaksanakan amanah yang diberikan kepadanya, mampu memelihara dan memiliki tanggung jawab terhadap hak milik umat berupa harta benda wakaf yang telah dipercayakan kepadanya. Nazhir yang bersifat shiddiq adalah nazhir yang mempunyai sifat jujur terkait dengan kepribadian dan bentuk program kerja yang ditawarkan sehingga masyarakat tidak merasa dimanfaatkan secara sepihak. Nazhir yang bersifat tabligh adalah nazhir yang mempunyai kemauan dan kemampuan menyampaikan segala informasi secara baik dan benar. Ia memberikan laporan secara baik dan benar kepada masyarakat tentang harta benda wakaf yang dikelolanya sehingga tidak menimbulkan kecurigaan.

Asas profesionalitas moral tersebut, ditambah dengan asas profesionalitas manajemen dalam pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf, nazhir harus memiliki lima asas kepemimpinan, yaitu : keterbukaan, akuntabilitas, tanggung jawab, independensi, dan kewajaran. Nahir harus memliki asas keterbukaan yaitu memberikan infromasi secara tepat waktu, memadai, jelas, akurat, dan dapat dibandingkan. Informasi tersebut juga harus  mudah diakses masyarakat (mauquf alaih) sesuai dengan haknya.
Nazhir harus memiliki asas akuntabilitas, yaitu menetapkan tanggung jawab yang jelas dari setiap komponen organisasi selaras dengan visi, misi, sasaran usaha, dan strategi pengembangan wakaf , dan setiap komponen organisasi memiliki kompetensi sesuai dengan tanggung jawab masing-masing. Nazhir memiliki asas tanggung jawab, yaitu memiliki prinsip tanggung jawab sesuai dengan ketentuan yang berlaku agar tetap terjaga kelangsungan harta wakafnya. Nazhir harus memeiliki asas indefendensi, yaitu mampu menghindari terjadinya dominasi yang tidak wajar oleh masyarakat (mauquf alaih). Nazhir tidak boleh terpengaruh oleh kepentingan sepihak. Ia harus mampu menghindari segala bentuk benturan kepentingan. Nazhir harus memiliki kewajaran, yaitu memperhatikan kepentingan seluruh mauquf alaih berdasarkan asas kesetaraan dan kewajaran (equal treatment).

Selain merumuskan syarat dan kriteria nazhir profesional, Badan Wakaf Indonesia juga akatif memebrikan pelatihan tentang nazhir profesional, model-model wakaf produktif, manajemen wakaf yang modern, dan kerjasama nazhir dengan investor atau lembaga keuangan syari’ah. Semua itu dilakukan oleh Badan Wakaf Indonesia demi terwujudnya pengelolaan dan pengembangan wakaf yang modern oleh nazhir yang profesional. Pekerjann ini memnag tidak semudah membalikan telapak tangan, dengan jumlah nazhir yang kurang lebih hampir mencapai 400 ribu dengan latar belakang pendiikan dan kemampuan yang berbeda-beda, dan dengan jumlah aset tanah wakaf sekitar 4 miliar meter persegi, terbayang tingkat kesulitannya terutama terkait ketersediaan anggarannya.

Dengan mengoptimalkan kemmapuan yang ada, Badan Wakaf Indonesia telah berperan dalam merubah kondisi wakaf dan nazhir di Indonesia dari bentuk pengelolaan dan pengembangan wakaf yang tradisional atau semi modern menjadi dikelola dan dikembangkan dalam berbagai model wakaf produktif yang menguntungkan dengan manajemen yang modern. Demikian juga dengan kondisi nazhir yang umumnya tidak berdaya membuat inovasi-inovasi wakaf produktif menjadi nazhir profesional yang kreatif menciptakan wakaf produktif.

Akselerasi perwujudan wakaf produktif dan nazhir profesional ini diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat. Karena itu, bagi Badan Wakaf Indonesia kesuksesan nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf tidak semata-mata hanya bertambahnya asset wakaf, tapi masyarakat atau mauquf alaih memperoleh hasil atau manfaat dari pengelolaannya dalam bentuk bantuan uang untuk pendiikan, kesehatan, ekonomi, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Dengan kata lain, nazhir yang profesional tidak hanya mampu mengelola asset wakaf secara produktif dan menambah atau memperbanyak asset wakafnya saja, tapi ia juga mampu menyalurkan sebagian dari hasil atau keuntungan yang diperoleh untuk peningkatan kesejahteraan ekonomi umat.


  • Share:

You Might Also Like

0 komentar