WAKAF PRODUKTIF (AL WAQFU AL MUTSAMMAR)

By Arif Ahmad Fauzi - Oktober 10, 2019



ZAKAT WAKAF MEMBANGUN UMAT MEMAJUKAN BANGSA
“Pemanfaatan Tanah Wakaf”
Oleh : Arif Ahmad Fauzi, S.Pd.I


Di antara tanda kasih sayang Allah terhadap hamba-Nya ialah bahwa amal-amal seorang muslim tidak akan terputus karena kematiannya, ada amal-amal yang mengalir pahalanya bahkan setelah meninggalnya seseorang. Rasulullah SAW bersabda : "Apabila anak adam meninggal, maka terputuslah segala amalnya kecuali 3 hal : (1) Sadaqah jariyah, (2) Ilmu yang bermanfaat (3) Anak yang shaleh yang senantiasa mendo’akan kedua orangtuanya". (H.R Muslim no. 1631)
Sedekah jariyah menjadi nyata dengan adanya waqaf. Sedekah jariyah adalah sebuah amalan yang terus bersambung manfaatnya, seperti wakaf tanah, kitab, mushaf Al Qur’an dll. Inilah yang menjadi alasan mengapa Ibnu Hajar Al Asqalani memasukkan hadits ini menjadi bahasan wakaf dalam kitab Bulughul Maram karena para ulama menafsirkan sedekah jariyah dengan wakaf.
Wakaf berarti menghentikan perpindahan hak milik atas suatu harta yang bermanfaat dan tahan lama dengan cara menyerahkan harta itu kepada pengelola, baik perorangan, keluarga, maupun lembaga untuk digunakan bagi kepentingan umum di jalan Allah SWT.
Dalam Ensiklopedi Islam dijelaskan wakaf pertama kali dilakukan oleh Umar bin Khattab. Menurut riwayat Bukhari dan Muslim secara ittifaq (disepakati oleh ulama hadis pada umumnya) dari Abdullah bin Umar bin Khattab, Umar bin Khattab berkata kepada Rasulullah: "Ya Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki sebidang tanah di Khaibar, yang aku belum pernah memiliki tanah sebaik itu. Apa nasihat engkau kepadaku?" Rasulullah SAW menjawab: "Jika engkau mau, wakafkanlah tanah itu, sedekahkanlah hasilnya. Lalu Umar mewakafkan tanahnya yang ada di Khaibar (di sekitar Kota Madinah) itu dengan catatan tidak boleh dijual, dihibahkan, atau diwariskan.
Ibnu Umar kemudian mengatakan bahwa Umar bin Khattab menyedekahkan hasil tanah itu kepada fakir miskin dan kerabat serta untuk memerdekakan budak untuk kepentingan di jalan Allah SWT, orang telantar, dan tamu.
Sepanjang sejarah Islam, wakaf telah memerankan peranan yang sangat penting dalam mengembangkan kegiatan-kegiatan sosial, ekonomi, dan kebudayaan masyarakat Islam. Selain itu, keberadaan wakaf juga telah banyak memfasilitasi para sarjana dan mahasiswa dengan berbagai sarana dan prasarana yang memadai untuk melakukan riset dan pendidikan sehingga dapat mengurangi ketergantungan dana pemerintah.
Didin Hafidhuddin dalam bukunya yang berjudul Islam Aplikatif menerangkan sumber-sumber wakaf tidak hanya digunakan untuk membangun perpustakaan, ruang-ruang belajar, tetapi juga untuk membangun perumahan siswa, sarana olahraga, kegiatan riset, seperti untuk jasa-jasa fotokopi, pusat seni, dan lain-lain.
Dalam usahanya untuk memotivasi riset, program penerjemahan juga ditunjang hasil-hasil wakaf. Banyak sekali buku yang ditulis atau diterjemahkan oleh sarjana dan ilmuwan muslim didanai oleh wakaf. Riset-riset baik yang menggunakan metode empiris maupun sainstifik terus dikembangkan dan didukung pendanaannya oleh wakaf.
Mohd Ali Muhamad Don dalam karyanya yang berjudul Peranan Wakaf Untuk Membangun Pendidikan Tinggi menjelaskan, sejarah perkembangan lembaga pendidikan wakaf (LPW) terkait erat dengan pembangunan masjid. Lantas bagaimanakah dengan perkembangan wakaf di Indonesia ? sudahkah ia berjalan sesuai fungsinya yaitu memakmurkan umat ? produktifkah ?
Dr. H. Fahruroji, MA menyatakan bahwa hasil penelitian Center for The Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Jakarta yang dipublikasikan tahun 2006, menyebutkan bahwa mayoritas tanah wakaf di Indonesia masih berfokus pada 3M (Masjid, Madrasah, Maqbaroh).
Wakaf yang digunakan untuk sarana ibadah (keagamaan) dalam bentuk mushalla dan masjid mencapai 79 %, sarana pendidikan mencapai 55 %, pekuburan mencapai 9 %, panti asuhan mencapai 3 %, sarana umum seperti jalan dan jembatan mencapai 3%, sarana kesehatan mencapai 1%, dan sarana olahraga mencapai 1 %. Tanah wakaf yang digunakan untuk kegiatan produktif (wakaf produktif) hanya mencapai 23 %, sebagian besarnya yaitu 19 % merupakan sawah atau kebun, sisanya 3 % dibangun pertokoan, dan 1 % dibangun untuk kolam ikan. Dari data tersebut menunjukan bahwa tanah wakaf yang dikelola dan dikembangkan secara produktif jumlahnya masih sedikit dan hasilnya tidak banyak karena jenis wakaf produktif yang dikembangkan masih sederhana.
Wakaf di Indonesia belum banyak memberikan kesejahteraan kepada umat dan belum banyak berperan dalam peningkatan ekonomi umat. Sangat jauh bila kita bandingkan dengan negara-negara lain seperti Mesir, Arab Saudi, Kuwait, Qatar, Turki, Pakistan, Malaysia dan Singapura. Di negera-negara tersebut wakaf telah dikelola secara produktif dengan manajemen yang professional sehingga wakafnya mampu meningkatkan kesejahteraan dan ekonomi umat serta menyokong kegiatan-kegiatan sosial.
Pemerintah membuat Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf untuk mengoptimalkan pengelolaan dan pengembangan wakaf di Indonesia serta untuk mewujudkan potensi ekonomi dari tanah wakaf yang jumlahnya mencapai 4,3 miliar meter persegi yang tersebar di 435.768 lokasi. Tujuan dari  Undang-undang tersebut adalah untuk menjaga dan melindungi harta benda wakaf serta optimalisasi pengelolaannya agar wakaf berperan dalam meningkatkan kesejahteraan umat, maka peraturan perundang-undangan tentang wakaf mengatur berbagai hal dinataranya tentang nazhir, pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf , dan penukaran harta benda wakaf.
Pertama, tentang nazhir. Undang-undang nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf menjelaskan peran penting nazhir dalam melaksanakan dan mensukseskan perwakafan. Oleh karena itu nazhir yang telah ditunjuk oleh wakif atau diangkat oleh Badan Wakaf Indonesia harus melaksanakan tugasnya, yaitu : (1) melakukan pengadministrasian harta benda wakaf. (2) mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya. (3) mengawasi dan melindungi harta benda wakaf. (4) melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.
Nazhir dituntut untuk profesional dalam melaksanakan tugas-tugasnya, karena semakin professional nazhir maka wakaf semakin bermanfaat untuk kemaslahatan umat. Nazhir yang professional harus memiliki asas moralitas yang FAST (Fathanah, Amanah, Shiddiq, Tabligh).
Nazhir yang professional harus mampu mewujudkan tujuan wakaf yaitu meningkatkan kesejahteraan umat (fathanah), melalui penyediaan sarana ibadah, dakwah, pendidikan, sosial, kesehatan dan peningkatan ekonomi umat. Oleh karena itu, nazhir juga harus mampu  memelihara dan memiliki tanggung jawab terhadap hak milik umat berupa harta benda wakaf yang telah dipercayakan kepadanya (amanah).
Seorang nazhir harus mempunyai sifat jujur (shiddiq) bahwa program-program wakafnya bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan benar-benar untuk kemaslahatan umat. Nazhir yang cerdas, amanah dan jujur mempunyai kemauan dan kemampuan menyampaikan segala infromasi dan laporan secara baik dan benar kepada masyarakat tentang harta benda wakaf yang dikelolanya sehingga tidak menimbulkan kecurigaan (tabligh).
Melalui asas moralitas nazhir yang FAST ini, umat diberikan kemudahan untuk mengakses pelayanan ibadah, dakwah, pendidikan, kesehatan, sosial, dan program peningkatan kesejahteraan umat yang bersumber dari wakaf.
Di Indonesia, sudah banyak sarana-sarana yang dibangun dan disediakan untuk kebutuhan umat. Namun demikian, untuk mengakses pelayananannya  terutama pendidikan dan kesehatan masih dikenakan biaya yang tinggi sehingga membebani umat, padahal konsep wakaf meniscayakan pelayanan-pelayanan tersebut diberikan secara gratis, kalaupun harus bayar semurah mungkin sehingga umat dari kalangan yang tidak mampu tidak terlalu terbebani dan mampu menikmati pelayanan tersebut.
            Kedua, pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf. Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf menekankan pentingnya pengelolaan dan pengembangan tanah wakaf dilakukan secara produktif, sebagai contoh dengan membangun pertokoan, perkantoran, sarana olahraga, pasar dan sebagainya. Jika tanah wakaf sudah ada bangunannya seperti sekolah atau masjid, sekiranya di lokasi tersebut masih ada tanah kosong akan lebih baik jika didirikan bangunan wakaf produktif seperti pertokoan, sarana olahraga dan sebagainya. Namun, jika tanah wakaf yang diatasnya masjid yang letaknya strategis seperti di jalan protocol di Jakarta, perlu dibangun ulang yaitu dengan membangun gedung perkantoran (office building) misalnya 10 tingkat, termasuk di dalamnya ada masjid (missal di lantai 1 atau lantai lain). Dengan demikian, wakaf akan memberikan hasil yang banyak yang manfaatnya dapat digunakan untuk kepentingan sosial, seperti membangun masjid, Lembaga Pendidikan, pelayanan kesehatan, menyantuni fakir miskin dan memberikan beasiswa.
 Selain persoalan dana, masih ada pemahaman yang kuat bahwa wakaf tidak untuk kepentingan ekonomi. Akibatnya meskipun tanah wakaf letaknya strategis, hanay dibangun masjid tanpa ada bangunan dan kegiatan wakaf produktif. Padahal selain bertujuan untuk ibadah dan sosial, wakaf juga memiliki peran dan tujuan ekonomi. Pemahaman lainnya yang masih menjadi kendala untuk mengembangkan wakaf produktif adalah mengenai peruntukan wakaf. Masih banyak yang memahami bahwa peruntukan wakaf yang telah disebutkan wakif, tidak dapat diubah atau diganti. Padahal, Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, menyebutkan bahwa peruntukan harta benda wakaf dapat diubah dengan izin tertulis dari Badan Wakaf Indonesia.
 Tanah wakaf di Indonesia yang kebanyakan dimanfaatkan seacara langsung untuk memberikan pelayanan ibadah dan sosial tentu saja tidak banyak mengahsilkan keuntungan. Sebagai akibatnya, lembaga wakaf tidak memiliki dana untuk membiayai kegiatan-kegiatannya atau untuk biaya pemeliharaan atau perbaikan bangunan. Menurut Monzer Qahf, pemanfaatan wakaf secara langsung akan membutuhkan banyak biaya, misalnya untuk pemeliharaan dan renovasi yang biayanya harus bersumber dari luar harta benda wakaf itu sendiri karena harta benda wakaf tersebut tidak memberikan hasil.
 Model pemanfaatan tanah wakaf seperti itu memang dibolehkan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan ibadah dan sosial, bahkan dicontohkan oleh Rasulullah dengan membangun Masjid Quba dan Masjid Nabawi di Madinah. Hanya saja, perlu dilakukan peningkatan nilai asset dengan mengembangkan wakaf produktif, tanah wakaf tentu saja memiliki nilai ekonomi yang tinggi sehingga bisa menjadi wakaf produktif atau wakaf langsung dan wakaf produktif secara bersamaan. Strategi ini perlu menjadi terobosan dalam pengelolaan tanh wakaf sehingga fungsi tanah wakaf untuk kepentingan ibadah, sosial, dan ekonomi dapat diwujudkan.

  Singapura sebagai salah satu contoh negara yang sudah melakukan model pengelolaan wakaf langsung dan wakaf produktif, seperti pembangunan wakaf Somerset Bencoolen pada tahun 2001. Wakaf ini awalnya merupakan sebuah masjid dan 4 buah toko yang sudah tidak layak pakai yang diwakafkan oleh Syed Omar bin Ali Aljunaid pada tahun 1845. Pembangunan ini mulai dilaksanakan dengan membangun komplek komersial yang terdiri dari gedung 12 lantai, apartemen dengan 103 unit kamar di dalamnya, 3 unit kantor, 3 unit toko, dan 1 bangunan masjid yang modern yang dapat menampung 1.100 jamaah. Sumber dana yang digunakan dalam pembangunan ini berasal dari bayt-al maal dan investor. Dengan model pengembangan wakaf seperti ini, wakaf akan mendapatkan manfaat dari keuntungan hasil sewa komplek komersial, dan pada saat yang sama wakaf mendapat manfaat dengan dibangunnya masjid yang baru dan modern. 
         
Gambar Gedung dan Fasilitas Somerset Bencoolen Singapura

             
Pengalaman Singapura dalam melakukan pengelolaan dan pengembangan tanah wakaf seperti contoh di atas, belum banyak ditemukan di Indonesia. Dengan jumlah tanah wakaf yang banyak seharusnya Indonesia memiliki banyak bentuk wakaf produktif yang dikembangkan. Minimnya pengetahuan nazhir tentang instrumen-instrumen investasi yang bisa digunakan untuk mengembangkan wakaf, menjadikan tanah wakaf belum dilihat sebagai investasi yang menguntungkan, padahal jika berbicara wakaf secara ekonomi tidak akan terlepas dari persoalan investasi karena adanya keterkaitan antara wakaf dan investasi.

Contoh wakaf produktif di negara lainnya seperti Saudi Arabia tepatnya di Kota Mekkah.
            1). Wakaf Mata Air Zubaidah (831 M)
Contoh produk dari hasil pengelolaan dan pengembangan wakaf produktif di Makkah berupa botol air minum 'Ain Zubaidah'
            
    2). Wakaf Hotel dan Penginapan Imam Ahmad bin Hajar Al Haitami di Makkah (1565)             

                 3). Wakaf Produktif  King Abdul Aziz untuk ‘Haramain’


Selain faktor kurangnya pengetahuan nazhir tentang wakaf produktif, tidak sedikit diantara masyarakat kita yang belum mengetahui tentang bentuk-bentuk yang bisa dijadikan wakaf, sehingga pengetahuan peruntukan wakaf hanya sebatas 3 M (masjid, madrasah, maqbarah) padahal banyak bentuk lain yang memungkinkan untuk dijadikan wakaf produktif, seperti :
1. Tanah
2. Rumah, toko, restoran
3. Ladang atau sawah
4. Pabrik
5. Rumah Sakit atau Klinik
6. Hotel atau Penginapan
7. Gedung Olahraga
8. Kendaraan 
           9. Laboratorium
           10. Alat elektronik
4
Contoh wakaf produktif  Jam’iyah Khalijiyah berupa ladang yang luasnya mencapai 
100 Hektar di Afrika

Ketiga, penukaran harta benda wakaf. Dalam istilah fikih disebut istibdal al-waqf merupakan salah satu instrumen pengembangan harta benda wakaf. Dalam Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, dejelaskan bahwa nilai dan manfaat harta benda penukar sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf dan harta benda penukar berada di wilayah startegis yang mudah dikembangkan. Oleh karena itu, pelaksanaan penukaran harta benda wakaf harus menajmin harta benda wakaf semakin berkembang, produktif, dan bermanfaat. Kementrian Agama dan Badan Wakaf Indonesia harus mendorong pelaksanaan penukaran harta benda wakaf dan mempermudah pengurusannya, jika dengan penukaran itu harta benda wakaf  menjadi semakin berkembang, produktif dan bermanfaat. Sebaliknya, penukaran harta benda wakaf yang merugikan wakaf, seperti tanah wakaf letaknya menjadi tidak strategis, nialinya turun, tidak dapat dikelola dan dikembangakan lebih produktif atau lebih bermanfaat maka Kementrian Agama dan Badan Wakaf Indonesia berkewajiban untuk melarangnya.
Melihat kondisi tanah wakaf di Indonesia yang kebanayakan dimanfaatkan secara langsung untuk memebrikan pelayanan ibadah dan sosial mengakibatkan pelaksanaan wakaf tidak menghasilkan keuntungan ekonomi, padahal lembaga wakaf juga memerlukan dana untuk mebiayai kegiatannya, maka apabila terjadi penukaran harta benda wakaf, Kementrian Agama dan Badan Wakaf Indonesia prlu mengupayakan agar harta benda penukarnya tidak hanya terbatas pada wakaf langsung tetapi ditambah dengan wakaf produktif atau kombinasi antara wakaf langsung dan wakaf produktif. Beberapa kasus penukaran harta benda wakaf yang sudah selesai diproses oleh Kementrian Agama dan Badan Wakaf Indonesia, telah berhasil mengubah pemanfaatan tanah wakaf yang sebelumnya hanya untuk memebrikan pelayanan ibdah dan sosial, sekarang dimanfaatkan juga untuk wakaf produktif.
Sebagai contoh : Pertama, penukaran tanah wakaf yang sebelumnya hanya dimanfaatkan untuk masjid, setelah ditukar maka penukarnya selain masjid juga dibangun toko dan atau Gedung pertemuan untuk disewakan misalnya untuk resepsi pernikahan, seperti yang terjadi pada penukaran tanah wakaf Masjid Al Istiqomah wa Hayatuddin di Jalan Kebon Melati V RT. 02 RW. 08 Kelurahan Kebon Melati kecamatan Tanah Abang Kota Jakarta Pusat Provinsi DKI Jakarta dan Masjid/Mushalla di Kelurahan Duri Pulo Kecamatn Gambir Kota Jakarta Pusat Provinsi DKI Jakarta.


Contoh kedua, penukaran wakaf yang sebelumnya hanya dimanfaatkan untuk madrasah/sekolah, setelah ditukar maka penukarnya selain madrasah/sekolah juga dibangun aula dan Gedung perkantoran, seperti yang terjadi pada kasus penukaran tanah wakaf madrasah/sekolah Yayasan Daarul Uluum Al Islaamiyah di Jalan Pedurenan Masjid III RT. 003 RW. 04 Kelurahan Karet Kuningan Kecamatan Setiabudi Kota Jakarta Selatan Provinsi DKI Jakarta.


Gambar Masjid Al Istiqomah wa Hayatuddin di Jalan Kebon Melati V RT. 02 RW. 08 Kelurahan Kebon Melati kecamatan Tanah Abang Kota Jakarta Pusat

        Contoh ketiga, penukaran tanah wakaf yang sebelumnya hanya dimanfaatkan untuk panti asuhan, setelah ditukar maka penukarannya selain panti asuhan juga ada bangunan toko, seperti yang terjadi pada kasus penukaran tanah wakaf panti asuhan di Jalan Ir.Soekarno Kelurahan Bendo Gerit Kecamatan Sananwetan Kota Blitar Provinsi Jawa Timur.
Semua contoh penukaran harta benda wakaf tersebut, telah menghasilkan kombinasi pengelolaan wakaf yaitu pengelolaan wakaf yang bersifat ibadah dan sosial serta pengelolaan wakaf yang bersifat ekonomi/bisnis. Model pengelolaan wakaf seperti ini menurut Tahir Azhary sangat ideal karena sebagian tanah wakaf yang strategis itu digunakan untuk keperluan ibadah dan sosial secara permanen, dan sebagian lagi digunakan untuk pengembangan tanah wakaf itu dalam arti optimalisasi tujuan wakaf itu sendiri, dengan kata lain mengelola tanah-tanah wakaf secara produktif.

  • Share:

You Might Also Like

3 komentar